top of page

Sebuah Catatan Kecil Tentang Bersyukur

  • Writer: bindarabindana
    bindarabindana
  • Sep 11, 2018
  • 5 min read

Perfect

Aku cacat. Tuhan tidak adil. Dia mengambil tangan kiriku sebulan yang lalu. Cacat membuat karierku di dunia balet hancur seketika. Aku membenci diriku.


***


Krek…. Terdengar pintu kamarku berderit dibuka. Aku menoleh. Kak Lala masuk ke kamarku, lalu dia duduk di tempat tidurku.


“Kamu sekarang jadi tidak asik ah Ra, di dalam kamar terus,” ucapnya.

Aku mendelik kesal. Bagaimana aku bisa memperlihatkan kepada dunia bahwa sekarang aku cacat? Bahwa sekarang aku hanya punya satu tangan?


“Ayolah Ra, kembali seperti dirimu yang dulu, yang seru dan keren itu!” Ucap Kak Lala lagi.


“Buat apa? Bagaimana aku bisa menjadi keren dengan diriku yang sekarang?” Ucapku pelan.


“Lagi lagi kamu berbicara seperti itu. Jangan katakan itu lagi, atau aku tidak akan pernah lagi menganggapmu sebagai seorang adikku” Ucap Kak Lala dengan nada bercanda.


“Ya sudah, tidak masalah” Ucapku singkat.


“Hahaha… Bercanda kok Ra, keluar yuk! Kakak ingin membeli es krim bersamamu, kalau Dik Zira bangun, pasti dia merengek minta ikut dan meminta es krim kita. Kakak tahu, semenjak dulu, kamu tidak pernah mau ada yang meminta es krimmu, ya kan?” Ucap Kak Lala sambil tersenyum.


Aku tersenyum tipis mendengar candaan Kak Lala. Lalu aku dan Kak Lala berjalan kaki menuju kedai es krim langgananku. Seperti biasa, sesampainya disana aku memesan es krim favoritku, coklat. Dengan taburan choco chips dan meses warna warni diatasnya. Yummy! Aku menyedot es krim itu dengan tangan kananku.


Tiba tiba… Bruk! Ratusan sendok es krim beserta wadahnya jatuh berantakan, ditepis oleh seorang gadis yang usianya kira kira 2 tahun lebih tua dariku. Aku memandangnya heran. Wajahnya tampak kaget, tapi pandangannya tetap lurus ke depan. Lalu dia meraba raba sekitarnya. Kak Lala dan penjual es krim segera merapikan kembali sendok sendok kecil itu. Ternyata, anak itu buta! Dia memiiki wajah yang sangat cantik. Tubuhnya pun tinggi dan ideal. Tapi dia buta. Bola matanya bercahaya ramah, mulutnya tersenyum manis, tingkah lakunya dicintai semua orang.


“Terimakasih sudah membantuku. Dan maafkan aku, aku tidak tahu wadah sendok itu ada disana” Ujar gadis itu lembut.


“Tidak apa apa Vira, lagipula kamu tidak sengaja” Ucap si penjual es krim.


“Terimakasih” Ucap gadis yang bernama Vira itu.


Aku terus saja memperhatikannya. Walaupun dia buta, dia tidak dihina oleh orang-orang; Dia juga tidak dicaci maki dan direndahkan. Malah dia sangat dicintai semua orang. Tidak seperti diriku, ketika aku masuk sekolah, teman-teman tidak henti hentinya menghinaku: “anak cacat”.

Tak lama, gadis itu dijemput oleh sebuah mobil sedan hitam. Dari dalam, keluar seorang wanita dan menuntunnya masuk ke dalam mobil. Tak lama, aku pun pulang ke rumah.


“Ra, kamu tahu siapa anak tadi?” Tanya Kak Lala.


Aku menggeleng. Aku baru bertemu dengannya tadi, walaupun sepertinya aku pernah mendengar namanya.


“Dia Vira, umurnya 3 tahun lebih tua darimu, 15 tahun. Dia adalah seorang Ice Skating Dancer” Ucap Kak Lala dengan nada bangga.


Aku yang mendengar itu langsung menoleh ke arah Kak Lala dengan terkejut.


“Ayolah, tidak usah terkejut begitu, kamu juga seorang ballerina kan?” Ucap Kak Lala.


Aku tetap menatap Kak Lala tidak percaya. Bagaimana seorang gadis buta bisa menari di atas es yang licin? Aku saja yang tidak buta kadang kadang masih sering terjatuh ketika sedang melakukan tari balet. Bagaimana dia?


“Vira itu seorang penari diatas es termuda dan terhebat yang pernah aku kenal. Dance nya itu sangat hebat dan indah. Meliuk liuk dan menciptakan atraksi lembut dan indah diatas es dengan sempurna dan professional” Ucap Kak Lala lagi.


“Gerakan lembutnya yang mengikuti musik sangat apik dan tidak pernah bosan untuk dilihat” Lanjut Kak Lala.


Aku tetap diam.

Gadis buta sepertinya? Bagaimana bisa???


“Baiklah, kalau kamu masih tidak percaya, besok kita ke gedung latihannya yuk! Tempatnya dekat dengan les baletmu lho” Ajak Kak Lala.

Aku mengangguk sambil setengah tidak percaya.


***


Pagi ini, aku bangun dengan senang. Walaupun masih tetap tidak menerima kenyataan bahwa tangan kiriku sudah tidak ada semenjak 1 bulan yang lalu. Yang membuatku senang hari ini bahwa, aku akan bertemu Kak Vira!


“Hai Ra! Ternyata kamu lebih cepat siap daripada yang aku kira” Ucap Kak Lala tiba tiba dari balik pintu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.


“Baiklah, kita akan sarapan dan naik busway ke sana ya!” Ucap Kak Lala.


“Tidak mau! Bagaimana aku bisa memperlihatkan diriku di depan banyak orang?” Ucapku.


“Tentu saja kamu bisa! Kamu adalah seorang ballerina Ra! Kamu hebat! Prestasimu sudah puluhan yang terpajang di lemari kaca” Ucap Kak Lala menyemangatiku.

Aku menggeleng. Itu dulu, sekarang sudah tidak lagi, sekarang aku hanyalah “mantan ballerina” yang tidak berguna.


“Baiklah, kita akan naik taksi” Ucap Kak Lala mengalah.


Selesai sarapan, aku dan Kak Lala berjalan sedikit ke depan perumahan, dan menyetop taksi. Hanya memakan waktu sekitar 45 menit, kami sudah sampai di tempat yang kami tuju. Aku memasuki sebuah gedung yang sedikit lebih besar daripada tempat les baletku. Lalu Kak Lala mengajakku ke sebuah ruangan yang sangat dingin. Di ujung ruangan, aku melihat seseorang yang kukenal. Kak Vira. Dia sedang terduduk diam sambil menatap lurus kedepan. Aku dan Kak Lala menghampirinya.


“Hai Vira! Aku penggemarmu, namaku Lala” Ucap Kak Lala sambil meraih tangan Kak Vira.


“Hai, terimakasih untuk dukungannya. Berapa umurmu?” Tanyanya ramah.


“17 tahun” Ucap Kak Lala pendek. “Mau kubantu?” Ucap Kak Lala ketika melihat sepatu Ice

Skating di depannya, yang sepertinya mau dikenakan oleh Kak Vira.


“Terimakasih” Ucap Kak Vira sambil tersenyum.


Kak Lala pun memakaikan sepatu itu di kedua kaki Kak Vira.


“Kak, bisakah Kakak membantuku ke lapangan es?” Ucapnya.


“Tentu saja!” Ucap Kak Lala sambil menuntun Kak Vira menuju lapangan es.

Aku menoleh kepada Kak Lala.


“Dia akan memulainya Ra! Kamu harus lihat prestasi hebatnya itu!” Ucap Kak Lala sambil tersenyum semangat.


“Ayo Vira! Latihan dimulai 5 menit lagi! Bersiap dari titik awal!” Ucap seorang pria yang tampaknya adalah pelatih Kak Vira.


Kak Vira mengangguk. Dia bersiap. Bibirnya tersenyum. Tangannya menggenggam erat besi dipinggiran lapangan. Musik dinyalakan. Kedua kakinya yang jenjang dengan indah meluncur di atas es. Dia tampak seperti penakluk es. Tubuhnya lengket dengan es. Lalu dia melakukan putaran yang sangat indah. Hei! Putaran itu adalah gerakan yang biasa aku lakukan di balet! Putaran itu adalah gerakan yang kupelajari selama 1 setengah bulan. Lalu dia melompat… dan hup! Dengan sempurna, mendarat lagi diatas es. Aku terpana. Dia seperti bisa melihat. Dia tahu lokasi itu dengan baik. Gerakannya sangat indah dan lembut. Aku terkagum sambil tersenyum.

Setelah sekitar 10 menit, musik pun habis. Dia kembali ke pinggir lapangan dengan closing yang memukau. Kak Lala kembali membantunya duduk.


“Ba… Ba… Bagaimana bisa?” Tanyaku.


Kak Vira tersenyum.


“Manusia itu punya dua mata. Mata jiwa, dan mata rohani” Jawabnya. Lalu dia tersenyum, dan melanjutkan kata katanya. “Sayangnya, mata jiwaku sudah diambil tuhan. Kini, aku hanya memiliki mata rohani. Dengan mata rohani yang dianugerahkan tuhan untukku ini, aku belajar untuk merasakan. Membiarkan alam berbicara kepadaku. Mendengarkannya, dan melakukannya” Lanjutnya.

Aku diam. Kak Vira saja yang buta bisa melakukan tarian indah itu. Tarian yang sangat indah dan berbahaya di atas es yang licin. Sedangkan aku?


“Keterbatasan bukanlah suatu penghalang. Keterbatasan, justru membuat kita semakin memukau” Ucapnya lagi. Aku menitikkan air mata. Aku menyesal. Menyesal selalu menyalahkan tuhan yang seharusnya tidak kusalahkan. Aku harus belajar ikhlas dan berjuang. Seperti Kak Vira.

Kak Lala tersenyum melihatku. Aku sudah termotivasi kembali. Aku sudah siap menjadi ballerina yang memukau!!!



Коментарі


bottom of page